Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johanis Tanak, menegaskan bahwa aturan baru DPR yang memungkinkan pemecatan pimpinan KPK bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Menurutnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, tata tertib DPR berada di bawah UU.

"Memang bertentangan dengan UU," ujar Johanis Tanak saat dihubungi Infoduniakita.com, Kamis (6/2/2025). "Peraturan DPR berada di bawah UU menurut UU Nomor 12 Tahun 2011. Jadi, pihak yang merasa dirugikan oleh Peraturan DPR RI tersebut dapat mengajukan judicial review ke MA RI," tambahnya. Dari perspektif hukum administrasi negara, Johanis menegaskan bahwa pejabat negara hanya dapat diberhentikan oleh Presiden yang mengeluarkan surat keputusan pemberhentian, dan surat tersebut harus sesuai dengan UU KPK. "Hanya bisa diberhentikan Presiden, tetapi keputusan pemberhentiannya harus sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang syarat pemberhentian Pimpinan KPK," jelasnya. Selain itu, pencopotan pejabat negara juga dapat dilakukan melalui putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) berdasarkan gugatan dari individu atau kelompok yang merasa dirugikan.
"Atau Surat Keputusan Pengangkatan bisa dibatalkan atau dianggap tidak sah oleh Putusan PTUN berdasarkan gugatan dari pihak yang merasa dirugikan sesuai UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang PTUN," katanya. Sebelumnya, DPR memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang telah melalui proses uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di DPR. Ini tertuang dalam revisi Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib yang disahkan dalam rapat paripurna DPR pada Selasa (4/2/2025). Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Bob Hasan menyatakan revisi ini memberikan DPR kesempatan untuk menilai kembali kinerja pejabat yang telah mereka tetapkan. Jika evaluasi menunjukkan kinerja yang tidak memadai, DPR dapat merekomendasikan pemberhentian.
“Dengan penambahan pasal 228A, DPR bisa mengevaluasi jabatan calon-calon yang sebelumnya telah melalui fit and proper test di DPR,” ujar Bob Hasan di Gedung DPR RI, Selasa (4/2/2025). Bob menegaskan bahwa hasil evaluasi ini bisa berujung pada rekomendasi pemberhentian bagi pejabat yang tidak menunjukkan kinerja optimal. “Akhirnya adalah masalah pemberhentian dan keberlanjutan pejabat yang telah diparipurnakan melalui fit and proper test DPR. Itu adalah pejabat yang berwenang dalam mekanisme yang berlaku,” kata Bob. Dengan revisi tata tertib ini, sejumlah pejabat yang telah ditetapkan DPR melalui rapat paripurna dapat dievaluasi kinerjanya secara berkala, termasuk Komisioner dan Dewan Pengawas KPK, Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), dan Mahkamah Agung (MA). Untuk informasi lebih lanjut, silakan baca artikel ini.
Komentar
Posting Komentar